Catatan awal dari sebuah buku
Rencana untuk berangkat pada sebuah acara bedah buku di Bumi Perkemahanan Ragunan (BPR), saya urungkan, begitu terlintas sebuah gagasan yang tak ingin kusia-siakan. Biasanyanya hanay ditulis di note atau sembarang tulisan setiap gagasan yang muncul, namun dorongan untuk mencurahkan gagasan dalam sebuah catatan lengkap menyeruak begitu saja, Saya pun mendapati diri saya sudah di depan laptop dan mengetikan setiap huruf yang mertangkai kata dan kalimat, mengalir cukup lancar. Berapapun kalimat yang tersusun tidak menjadi perhatian, yang terpikirkan gagasan yang melintas ini membutuhkan kanalisasi, di sebuah tulisan.
Mungkin salah satu pemicunya adalah komunikasi dengan klien yang menyatakan akan menengok keponakannya di Bandung, setelah proses terapi yang hampir sebulan, walau pertemuannya hanya dua kali 90 menit. Duia kali duduk di kursi terapi saya, dan dua sesei itu, ibu dua anak tersebut didampingi suaminya. Saya membiarkan kedua sesi itu menjadi Couple Therapy, tanpa sepengetahuan suami, karena selama terapi ia ikut berdiskusi dan memperhartikan istrinya. Saya hanya fokus pada hasil, jadi soal metode itu hanya cara saja untuk mencapai tujuan. Rencana liburan ke Bandung merupakan puncak kebahagiaan pasangan yang mulai memasuki usia kep;ala tiga ini. Pada awalnya klien saya mengeluhkan banyak hal, termasuk soal kelangsungan rumah tangganya.
Dari komunikasi pagi itu, saya kemudian menyimpulkan bahwa dalam kasus ini dan banyak kasus lainnya, sebenarnya permasalahan yang dihadapi seseorang kadang sangat sederhana, namun cara untuk mengatasi atau menyelesaikan masalahnya seringkali melalui jalan berliku sampai ia menemukan cara yang paling sesuai dengan kondisi masalahnya. Klien saya menyebutkan bahwa puncak permasalahannya dirasakan sekitar satu tahun terkhir sebelum bertemu saya. Ketika pertama bertemu dan saya katakan metode saya tak menggunakan obat-obatan baikl farmasi maupun herbal, ia sedikirt ragu, bagaimana mungkin ia yang sudah mengonsumsi berbagai obat dan makanan lainnya sesuai dengan yang diresepkan dokter atau saran dari teman dan kerabat, bisa diatasi hanya dengan berbincang. Sejak pertemyuan awal, dari mpola kalimatnya saya sudah paham apa yang di alami dan bagaimana sesi sesi yang akan dilalui.
Setiap kata yang mengalir adalah ingatan atau catatan dari beberapa proses terapui yang saya lakukan dengan klien saya, sehingga saya hapal persis setiap kalimat yang akan meluncur, seperti saya mengemudikan mobil di jalan yang ke kantor saya, dari wilayayh Jakarta Ti,mur, menuju Jakarta Pusat, bahkan saya tahu kapan waktu macet puncak dan kapan bisa melenggang seperti di jalan lingkungan pdesaan yang sepi. Pertimbangan yang harus dilakukan adalah saat memilih contoh kasus, dari sekian banyak kasus yantg saya tangani baik yang berakhir dengan perasaan bahagia, maupun yang tak dap[at saya lacak perkembangannya, karena hilang nkontak dengan klien, saya juga mempertimbangkan untuk membahascontoh kasus yang tak selesai sampai happy ending, sebagian karena keputusan klien untuk tak melanjutkan terapi, atau benar-benar putus kontak, karena hal sepele seperti masalah alat komunikasi yang bermasalah.
Ide utama yang ingin dituangkan adalah soal kesederhanaan permasalahan yang dialami oleh seseorang atau pasangan bahkan sebuah keluarga, yang sebagian besar adalah soal konflik internal individu, yang merupakan hasil dari proses pengalaman hidup yang dialami, berupa tumpukan trauma dan pengalaman yang kemudian menjadi pendorong bawah sadar seseorang untuk berpikir, bersikap dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga dalam kondisi tertentu ia menjadi sangat menderita dan memengaruhi hubungannya dengan orang lain, terutama yang inten berkomunikasi dengannya. Tentu pasangan hidup dan keluarga utama akan memiliki peran dan dampak yang sangat signifikan dalam hal ini. Pilihan contoh juga lebih pada contoh kasus dari kondisi yang tidak baik yang akan dibahas, karena untuk kasus dimana seseorang menjadi sehat dan memiliki kualitas hidup yang baik, mungkin lebih baik dibahas dalam pembahasan lain, soal efektifitas hidup dari beberapa orang sukses yang berkonsultasi di ruang terapi saya.
Jadi apa yang ingin saya tuangkan adalah pengalaman di ruang terapi dan komunikasi saya dengan para klien, dalam mengatasi permasalahan yang dihadai oleh klien-klien saya, serta bagaimana kita memahami bahwa banyak persoalan besar bahkan yang emmbuat klien saya merasa putus asa, sebenarnya merupakan masalah bawah sadar yang sederhana, soal bagiaman proses dan hasilnya juga akan tergantung pada interaksi yang terbangun selama terapi. Namun bisa dikatakan kasus yang tak terselesaikan hanya merupakan bilangan minor, rahasianya adalah karena proses ini merupakan rekayasa teknologi pikiran, sehingga selama klien tidak memutuskan kontak dan komunikasi, maka akan selalu ada jawaban atas permasalahan yang dihadapi.
Rumus terapi yang demikian tentu menjadi pendorong saya untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan, yang belum saya tahu akan seperti apa proses dan akhir dari penulisan ini, tapi seperti dalam ratusan sesi terapi yang saya lakukan, saya tahu bahwa hal ini akan sangat bermanfaat, bahkan jika dipandang dari sisi orang yang mengikuti saat terapi seperti sang suami yang mendampingi istrinya dalam dua kali sesi terapi di kursi terapi saya, ia mengatakan rasa kagumnya, seperti sebuah keajaiban, katanya, dan dengan penasaran ia bertanya tentang apa yang istrinya rasakan saat berada di kursi terapi, padahal saat itu ia berada dalam satu ruangan dengan saya dan istrinya. Perubahan itu terjadi di dalam, sebuah proses rekayasa teknologi pikiran, yang sederhana tapi dahsyat, yang perlu disampaikan kepada khalayak pembaca agar bisa memetik manfaat dari ilmu yang sudah lama berkembang, namun masih belum mendapat tempat di Indonesia sebagaimana mestinya, yakni hipnosis.