Antara Freud, Jung dan Adler, tentang Kemarahan dan Kecemasan.
Oleh : Kaka Suminta
Kesulitan kita untuk membahas soal keretakan dalam perkembangan Paikoanalisis awal, yakni masih dalam masa kehidupan para pendirinya sendiri, terutama Sigmund Freud, Carl Gustaf Jung dan Adler, bukan hanya soal perdebatan teori dan metode di antara mereka, tetapi juga menyangkut luasnya perbedaan yang tersebar, dalam soal hubungan pribadi, emosi dan analisa yang dilakukan masing-masing kepada subjek yang dikritiknya. Bahkan sebenarnya inilah fase tersulit bagi kita untuk memiliki gambaran yang utuh tentang sebuah teori, saat saling bantah dengan sebutan dan istilah dalam psikoanalisis, seperti trauma, infantil, oedipus sindrom dan berbagai istilah yang sangat khas dalam psikoanalisa yang saling lebalkan di anatar mereka, terutama antara Freud dan Jung.
Jika melihat lini waktu yang dilalui di antara Freud dan Jung, kita bisa menyimpulkan hanya dalam waktu satu dasa warsa antara pertemuan pertama mereka, hubungan yang diawali dengan pertemuan dua orang jenius di bidangnya, sampai dukungan Freud kepada Jung untuk menjadi pimpinan tertinggi gerakan Psikoanalisis Internasional, sampai keluarnya Jung dari Psikoanalisi dan membentuk analitic Phsychologi. Artikel ini diharapkan bukan hanya untuk menyoroti soal perpecahan awal dalam psikoanalisa, tetapi juga sebagai sebuah studi interaktif yang dapat mengambil kesimpulan dan hikmah dari perkembangan tersebut. Khusunya untuk perkembangan psikoanalissi di Indonesia yang tidak terlalu menggembirakan.
Demikian juga dengan sumber pustaka sebagai bahan, untuk mengkaji hal ini, tak banyak kita dapatkan di Indonesia, sehingga niatan tulisan ini sebagai bagian dari diskusi di antara peminat psikoanalisis menjadi penting. Sebagaimana menjadi kecenderungan umum, di Indonesia psikoanalisis lebih bayak berkembang di luar kampus dan opengembangannya lebih banyak merupakan studi kilinikal, dibanding studi di laboratorium. Sementara itu berbagai spekulasi teori Freud yang mendapat tentangnya dalam sepanjang perkembangan psikoanalisi, bahkan dianggap absurd, namun kemudian beberapa di antaranya kini, malah menjadi kajian yang kembali digeluti, bahkan oleh kelompok yang semula menolak dengan keras, seperti konsep mekanisme pertahanan ( Defence Mechanism), kini kembali menjadi bahan kajian di berebgai cabang ilmu yang relevan seperti psikologi dan antropologi.
Dengan semangat untuk membangun pemahaman publik itulah makalah ini dibuat. Kembali kepada seoal perpisahan jalan yang ditempuh Freud oleh para seniornya, dalam hal ini Jung dan Adler yang kemudian dikenal sebagai gerakan neo Psikoanalisis,setidaknya kita perlu untuk menyorotinya dari berbagai dimensi, seperti dimensi hubungan pribadi, dimensi keilmuan, dimensi perkembangan sosial yang melingkupi saat itu, sampai soal pengorganisaan psikoanalisis dan soal keuangan. Namun untuk lebih fokus, maka tulisan ini hanya akan mengangkat dari tiga dimensi utama, yakni perbedaan soal pijakan keilmuan dalam teori dan motede psikoanalisis pada saat itu, soal hubungan pribadi para subjek, dan soal perkembangan psikonalisis terkait masalah tadi.
Dari tiga dimensi itu, sebenarnya tak dapat dipisahkan satu dimensi dengan dimensi lainya, misalnya dalam diskusi mereka, di satu sisi mereka menemukan kecocokan, misalnya soal analisa, yang dalam metode Freud dikembangkan melalui asosisi bebas dengan mengedepankan kejujuran analisan dalam prosesnya, oleh Freud sendiri didasarkan kepada kejujuran perasaannya sendiri, termasuk terhadap Jung, di antaranya memunculkan analisa tentang figur ayah yang berkuasa serta adanya hubungan yang bisa memunculkan hubungan homoseksual, sementara bagi Jung hubungan itu hanya menggambarkan hubungan dirinya dengan orang yang dihormatinya, misalnya dalam sebutan Freud, dengan Dearr Friend, oleh Jung dijawab, ia lebih suka jika menganggapnya sebagai bapak atau figur yang dihormati.
Seluruh perjalanan menuju persimpangan jalan antara Freud dengan Jung itu tergambar dari karta-karya mereka berbentuk buku dan esay. Freud menulis “Totem and Taboo” dan “The Hystory of Phsychonanalysis Movemnet”, sementara Jung menulis “ The Collective unciousness”, serta beberapa surat menyurat di antara mereka dan juga dalam makalah-makalah sepanjang tahun 2011 sampai 2014. Sulitnya memilah dalam dimensi-dimensi dimana mereka berselisih paham, itu karena satu dan lain dimensi saling berkelindan, dan sebenarnya sudah bisa dirunut sejak awal dari pemikiran mereka masing-masing. Misalanya soal sikap Jung terhadap psikoanalisa sendiri, Jung merasa dengan menjadi bagian Psikoanalisa Freud, maka ia akan menjadi renggang dengan kolega-kolega nya yang menekuni psikologi dan cabang ilmu lain yang relevan.
Terlepas dari dimeensi mana yang paling dominan dalam hal ini, kita akan lebih mudah untuk menemukan asumsi perbedaan, dengan melihat dari sisi psikoanalisis sebagai sebuah disiplin ilmu, teori dan metode yang dikembangkan oleh Freud yang kemudian ditanggapi oleh Jung sendiri. Dari tiga buku ditambah dengan sebuah esay panjang Freud “Moses and Monotheism” kita bisa memahami bahwa pendapat Freud tentang infantilonya agama, menjadi gangguan bagi pemikiran Jung, karena bagi jung dalam collective unciousnes, dalam artefak geneologi manusia terdapat ruang yang merindukan adanya kepercayaan atau agama, yang dalam Freud dinegasikan secara total.
Di sisi lain Freud menganggap bahwa Jung dan koleganya membangun sistem okultisme yang berpusat pada Jung, yang dalam salah satu artikelnya membuat analogi adanya pejuang atau hero yang mencoba melakukan perlewanan dari dominator yang menguasainya, yang secara tidak langsung menggambarkan dirinya yang berjuang untuk melpaskan diri dari dominasi senioritas Freud. Demikian juga Jung tak sepakat dengan psikologi Freud yang deterministik sehingga dinilainya sebagai psikologi skeptis, sementara ia meyakini adanya faktor internal manusia yang memmunculkan harapan, bukan hanya skeptisisme semata.
Perselisihan ini sangat membebani Freud secara pribadi dan emosi, sehingga ia sangat kecewa, walau tetap mengakui kecerdasan Jung dalam bidangnya. Perdebatan mereka dituangkan dalam berbagai tulisan yang juga menyangkut teori dan metode keilmuan yang mereka kembangkan, sehingga jika kita coba mengambil manfaat dari semua kejadian ini, maka ini menjadi khasanah yang kaya akan pemikiran-pemikiran yang mendalam, sang sampai saat ini belum tergali secara baik, untuk pengembangan dan pemanfaatan secara keilmuan dan praksis, misalnya dalambidang psikoanalisa dan psikologi umum lainnya.
Tulisan ini sengaja menjadi pintu yang terbuka untuk menjadi diskusi diantara peminat psikonalisa, selain dimaksudkan sebagai sebuah pengantar, sekaligus diharapkan akan menjadi bagian dari diskusi psikoanalisa yang semakinbesar. Kesimpulannya, Psikoanalisa, khsuusnya pemikirabn Freud, telah menjadi kontroversial sejak kelahirannya, bahkan menjadi perdebatan dan permuasuhan tajam dalam masa perkembangnnya, justri di antara para pendirinya sendiri. Namun sebagaimana kita pahami, justru perpecahan ini melahirkan diskursus yang kaya dalam psikoanalisi, sebagai sebuah ilmu pengetahuan.