Di Balik Layar Media Sosial, Beban Psikis Gen Z

Spread the love

(Ketika Citra Diri Remaja Diuji Filter dan Jempol)

Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Gen Z—generasi yang lahir dan besar bersama internet. Instagram, TikTok, Snapchat, dan berbagai platform lainnya bukan lagi sekadar aplikasi, melainkan panggung utama tempat mereka berinteraksi, belajar, dan membentuk identitas. Namun, di balik kilaunya filter dan jumlah likes, ada sebuah isu kesehatan mental yang semakin mengkhawatirkan: dampak media sosial terhadap citra diri dan kepercayaan diri remaja.

Fenomena “Perfectionism by Design”

Coba kita amati linimasa media sosial. Kita akan disuguhi foto-foto liburan mewah, outfit yang sempurna, tubuh ideal, wajah mulus tanpa cela, dan pencapaian-pencapaian luar biasa. Ini bukan lagi sekadar berbagi momen, melainkan presentasi yang dikurasi dengan cermat, sering kali melalui filter, aplikasi edit, atau bahkan pose yang tidak realistis. Fenomena ini menciptakan apa yang bisa kita sebut sebagai “perfeksionisme by design.”

Remaja, yang sedang dalam tahap krusial pencarian identitas, sangat rentan terhadap gambaran kesempurnaan artifisial ini. Mereka terpapar standar yang seringkali tidak realistis dan membandingkan realitas kehidupan mereka yang “biasa” dengan highlight yang dipamerkan orang lain. Perbandingan sosial ini, yang diperkuat oleh algoritma media sosial, secara tidak sadar memupuk perasaan insecure dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri.

Studi Kasus di Balik Layar Remaja Kota

Mari kita lihat contoh di kalangan remaja kota. Ambilah kasus Rizky, 17 tahun, seorang siswa SMA di Jakarta. Rizky adalah pemain basket yang cukup populer di sekolahnya. Namun, di media sosial, ia selalu merasa kurang. Teman-temannya di Instagram tampak selalu punya gadget terbaru, liburan ke luar negeri, atau body goals yang sempurna. Setiap kali ia melihat postingan semacam itu, Rizky merasa dirinya “kurang keren,” “kurang kaya,” atau “kurang atletis.”

Ia mulai menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih foto yang “paling bagus,” mengedit tubuhnya agar terlihat lebih berotot, atau memakai filter agar kulitnya tampak lebih bersih. Bahkan, ia pernah tidak jadi ikut kumpul bersama teman-temannya karena merasa penampilannya hari itu “tidak pantas” untuk diabadikan di Instagram. Rizky terjebak dalam lingkaran validasi eksternal, di mana nilai dirinya ditentukan oleh jumlah likes dan komentar positif. Ia mulai sering mengeluh tentang berat badannya, padahal secara fisik ia sehat. Ini adalah contoh nyata bagaimana isu citra tubuh (body image issues) dapat berkembang akibat paparan media sosial.

Contoh lain adalah Luna, 16 tahun, seorang siswi yang cerdas dan berprestasi di Bandung. Namun, ia merasa cemas setiap kali tidak membalas pesan di grup WhatsApp atau tidak mengunggah cerita Instagram tentang kegiatannya. Ia selalu ingin terlihat sibuk, punya banyak teman, dan hidupnya “penuh.” Ini memicu kecemasan sosial dan Fear of Missing Out (FOMO) yang ekstrem. Luna sering tidur larut malam hanya untuk scrolling lini masa dan memastikan ia tidak ketinggalan “tren” atau “momen” yang sedang terjadi di kalangan teman-temannya. Ia merasa harus selalu available dan connected, meskipun itu menguras energinya.

Mengapa Gen Z Lebih Rentan?

 

Beberapa faktor membuat Gen Z lebih rentan terhadap isu ini:

  1. Digital Natives: Mereka tumbuh tanpa batas antara kehidupan daring dan luring, membuat sulit membedakan realitas dan ilusi digital.
  2. Otak dalam Perkembangan: Otak remaja, terutama bagian yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan kontrol impuls, masih dalam tahap perkembangan. Mereka lebih mudah terpengaruh dan cenderung mencari validasi dari luar.
  3. Tekanan Teman Sebaya Digital: Tekanan untuk “fit in” tidak hanya terjadi di sekolah, tapi juga di dunia maya, di mana setiap unggahan bisa dinilai dan dibandingkan secara instan.
  4. Algoritma Medsos: Algoritma dirancang untuk membuat pengguna betah, seringkali dengan menampilkan konten yang memicu perbandingan atau emosi kuat, tanpa disadari memicu lingkaran kecemasan.

Peran Kita: Dari Orang Tua Hingga Lingkungan

(Lalu, bagaimana kita bisa membantu?)

  • Bagi Remaja (Gen Z):
    • Filter Konten Anda: Sadari bahwa tidak semua yang ada di media sosial itu nyata. Un-follow akun yang membuat Anda merasa buruk tentang diri sendiri.
    • Fokus pada Realita: Habiskan lebih banyak waktu di dunia nyata, dengan hobi, teman, dan keluarga secara langsung.
    • Istirahat Digital (Digital Detox): Sesekali, puasa media sosial. Rasakan perbedaannya.
    • Cari Validasi dari Dalam: Belajar mencintai dan menghargai diri sendiri apa adanya, bukan dari jumlah likes atau komentar.
    • Bicara: Jika Anda merasa tertekan, bicaralah dengan orang tua, guru, atau teman yang Anda percaya.
  • Bagi Orang Tua dan Pengasuh:
    • Jadilah Pendengar Aktif: Ajak anak bicara tentang apa yang mereka lihat dan rasakan di media sosial. Dengarkan tanpa menghakimi.
    • Edukasi Literasi Digital: Ajari anak tentang pentingnya berpikir kritis terhadap konten media sosial dan memahami cara kerja filter atau editan.
    • Batasi Penggunaan Layar: Terapkan aturan yang sehat tentang waktu penggunaan layar, terutama sebelum tidur.
    • Teladani Perilaku Sehat: Orang tua juga perlu menunjukkan kebiasaan digital yang sehat.
    • Dorong Aktivitas Offline: Ajak anak untuk melakukan kegiatan fisik, hobi, atau interaksi sosial di dunia nyata.
    • Kenali Tanda Bahaya: Waspadai tanda-tanda kecemasan, depresi, atau perubahan perilaku makan yang drastis. Jika diperlukan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.

Isu citra diri di era media sosial adalah tantangan kompleks yang membutuhkan pemahaman dan upaya kolektif. Dengan kesadaran, edukasi, dan dukungan yang tepat, kita bisa membantu Gen Z menavigasi dunia digital dengan lebih sehat, membangun kepercayaan diri yang kokoh, dan meraih potensi terbaik mereka tanpa terjebak dalam ilusi kesempurnaan.

 

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to toolbar